Sekadarnya Larangan Merokok: Antara Regulasi, Kesadaran, dan Budaya

Nusantaratv.com - 22 Oktober 2025

Program dialog NTV Prime yang mengangkat tema "Sekadarnya Larangan Merokok".
Program dialog NTV Prime yang mengangkat tema "Sekadarnya Larangan Merokok".

Penulis: Adiantoro

Nusantaratv.com - Indonesia kini berada di ambang krisis perokok. Tercatat sekitar 70 juta penduduk Indonesia adalah perokok aktif, dengan 7,4% di antaranya berusia 10 hingga 18 tahun.

Angka ini memprihatinkan dan menjadi alarm keras bagi pemerintah maupun masyarakat. Permasalahan ini harus dibahas secara serius.

Kampanye bahaya merokok dan ajakan untuk berhenti merokok perlu terus digalakkan, bukan hanya sebagai imbauan moral, tapi langkah nyata menyelamatkan generasi masa depan.

"Memang ini sangat urgent, bukan mendesak lagi, tapi harus, karena kondisi sudah force majeure, sudah darurat, sehingga harusnya ada langkah-langkah tegas dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah," ujar Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah dalam program dialog NTV Prime bertajuk "Sekadarnya Larangan Merokok" yang dipandu jurnalis senior Nusantara TV Abraham Silabaan, Selasa, 21 Oktober 2025.

Trubus menyoroti regulasi sebenarnya sudah cukup lengkap. Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, menggantikan UU Nomor 36 Tahun 2009. 

Selain itu, terdapat pula Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), serta PP Nomor 28 Tahun 2024 yang mewajibkan semua daerah membuat Peraturan Daerah (Perda) mengenai KTR.

Namun, Trubus mengkritisi lemahnya implementasi di lapangan. "Banyak daerah yang setengah hati menerapkan aturan ini. Kepatuhan masyarakat juga rendah," ungkapnya.

Trubus menyampaikan Pemerintah Pusat telah menetapkan regulasi melalui Undang-Undang Kesehatan, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang mengatur tentang sosialisasi bahaya rokok serta larangan-larangan yang tercantum di dalamnya. 

Lalu, seperti apa langkah yang diambil oleh pemerintah daerah dalam melakukan sosialisasi dan evaluasi, khususnya terkait pelaksanaan atau implementasi dari regulasi tersebut?

"Iya, memang ini menjadi problem, Artinya, eksekusinya dalam tanda petik itu 'lemah'," jelasnya.

Di sisi lain, persoalan ini juga berkaitan erat dengan faktor budaya. Pada akhirnya, semuanya kembali pada individu masing-masing, bagaimana seseorang yang sudah kecanduan merasa kesulitan untuk berhenti merokok karena dorongan yang begitu kuat.

Seperti halnya kisah Anan Surya, seorang karyawan swasta berusia 34 tahun, yang menggambarkan perjuangan seorang perokok berat yang ingin berhenti. 

Sejak kuliah hingga tahun 2025, dia sudah merokok selama 15 tahun. "Enggak ada hari saya lewatkan tanpa rokok. Jadi kayak dua bungkus plus empat batang. Saya beli dua batang, dua batang. Nah, ini juga berpengaruh dari varian rokok," ujar Anan.

Bagi Anan, rokok dan secangkir kopi setiap pagi menjadi "starter pack" untuk memulai hari. Katanya, dia jadi lebih bersemangat menyiapkan materi dan menyusun target kerja harian, bahkan sebelum resmi mulai bekerja di kantor. 

Pola hidup seperti ini pun lama-kelamaan menjadi kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Di sisi lain, bagi Anan, lingkungan sosial dan lingkaran pertemanannya belum cukup suportif untuk memberikan dukungan. 

Dia juga mengaku kurang mendapatkan informasi terkait layanan berhenti merokok. Anan mengakui ada keinginan untuk berhenti, namun tidak tahu bagaimana caranya.

"Saya punya beberapa teman yang benar-benar berhasil berhenti merokok total. Padahal, saya tahu sebelumnya mereka adalah perokok berat. Tapi memang, setiap orang punya cara yang berbeda-beda untuk berhenti. Ada teman saya yang bilang, 'Gue ya berhenti aja', dan ternyata itu cukup buat dia. Sementara saya sendiri belum bisa merasakan atau memahami apa maksudnya 'berhenti aja'. Saya belum tahu caranya berhenti begitu saja dari kebiasaan buruk merokok," ungkapnya.

Anan kemudian berupaya mencari layanan yang dapat membantunya berhenti merokok, atau setidaknya mengurangi kebiasaan tersebut secara signifikan.

"Kalau tadinya berbungkus-bungkus, ini sebisa mungkin misalkan sebungkus seminggu baru habis," ungkapnya.

Meski belum sepenuhnya berhenti, Anan tetap berkomitmen untuk merokok dengan tertib agar tidak mengganggu orang lain. 

"Saya sekarang lebih tahu diri. Kalau di ruang publik, di mana saya berada di tengah orang-orang yang tidak merokok, saya memilih untuk menahan diri. Karena saya sadar, dampaknya bukan hanya untuk saya sendiri, tapi juga bisa mengenai orang-orang di sekitar," jelasnya.

Kesadaran ini membuat Anan lebih selektif dalam memilih tempat untuk merokok. Bahkan saat pulang ke rumah, ia punya kebiasaan khusus. 

"Biasanya saya tidak langsung merokok, bahkan saya akan ganti baju dulu sebelum berinteraksi dengan keluarga atau keponakan saya," lanjutnya.

Bagi Anan, hal ini adalah bentuk tanggung jawab sebagai perokok. Dia berusaha menjaga kesadaran diri, sekaligus berharap agar haknya sebagai perokok tidak didiskriminasi.

Menurut Trubus, masalah ini juga berkaitan erat dengan budaya. Bagi banyak orang, merokok sudah menjadi bagian dari gaya hidup, kebiasaan sehari-hari, bahkan simbol pergaulan.

"Dulu saya juga perokok berat, bisa tiga bungkus sehari. Tapi saya berhenti karena niat dan bertahap. Itu pengalaman pribadi saya," ungkap Trubus.

Di sisi lain, Agus Pambagio, Pengamat Kebijakan Publik lainnya, juga menegaskan merokok itu berbahaya dan harus dihentikan. 

Namun, dia menyoroti fasilitas publik masih terlalu longgar dalam hal larangan merokok. "Di luar negeri, seperti Eropa atau Australia, orang masih merokok, tapi tidak sembarangan. Ada tempat dan tata caranya," jelas Agus.

Meski berbahaya, industri tembakau masih menjadi salah satu penyumbang besar pendapatan negara. Pada 2024, penerimaan cukai dari industri ini mencapai Rp216 triliun.

Karena itu, pendekatan pemerintah sebaiknya bukan hanya melarang, tetapi juga mengedukasi dan mengawasi secara konsisten.

Hasbyallah, jurnalis Nusantara TV, mengatakan kisah Anan seharusnya membuka mata pemerintah bahwa para perokok aktif yang ingin berhenti butuh panduan dan pendampingan.

"Sebenarnya pemerintah melalui Kementerian Kesehatan memiliki layanan berhenti merokok yang bernama Quidline.INA 0800-177-6565. Namun tentu ini bisa saja menjadi gambaran apakah memang layanan yang sudah lama berjalan ini benar-benar efektif dan solutif para perokok aktif," sebut Hasbyallah.

Hasbyallah mengungkapkan kisah Anan sangat memprihatinkan. Sejak tahun 2020 hingga 2021, Anan sudah mengidap penyakit tertentu. 

"Anan sebenarnya menyadari bahwa merokok bukanlah kebiasaan yang baik. Namun, saat dia berada di fase sulit dan seharusnya mendapatkan bimbingan atau arahan, dia justru merasa kebingungan dan tidak tahu harus ke mana. Akhirnya, kami mencoba menggali lebih dalam, seharusnya, apakah pemerintah memiliki panduan atau Quidline? Dan ternyata memang ada," ujar Hasbyallah.

Sejatinya, ungkap Hasbyallaah, Anan merasa sangat resah setiap kali ingin bertanya ke temannya. 

"Soalnya, teman-temannya cenderung dengan mudah mengatakan, 'Bisa lah, kita aja bisa berhenti kok. Kenapa kamu nggak coba?' Tapi di sisi lain, Anan tetap merasa bingung harus mulai dari mana untuk berhenti merokok. Dia juga belum tahu ke depannya harus bagaimana," imbuh Hasbyallah.

Trubus menambahkan pendampingan seharusnya menjadi bagian dari kebijakan. Tidak cukup hanya menyediakan layanan, tetapi juga perlu psikolog, ahli gizi, dan tenaga medis lainnya untuk mendampingi proses berhenti merokok.

"Setiap perokok punya problematika sendiri. Pendekatannya tidak bisa disamaratakan," tegas Trubus.

Berhenti merokok bukan semata-mata soal niat. Dibutuhkan dukungan lingkungan, pendampingan, akses informasi, dan tentu saja regulasi yang ditegakkan secara konsisten.

Kisah Anan menggambarkan realita banyak perokok aktif di Indonesia: ingin berhenti, tapi bingung harus mulai dari mana. Maka pertanyaannya, apakah pemerintah cukup hadir membantu mereka?

Simak selengkapnya program dialog NTV Prime yang mengangkat tema "Sekadarnya Larangan Merokok" lewat video di bawah ini.

 

Dapatkan update berita pilihan terkini di nusantaratv.com. Download aplikasi nusantaratv.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat melalui:



0

x|close