Nusantaratv.com-Dewan Pengurus Nasional (DPN) Batak Center mengeluarkan ultimatum kepada Pemerintah Republik Indonesia, meminta agar izin usaha PT Toba Pulp Lestari, Tbk (PT TPL) dibekukan dan dicabut secara bertahap.
Tuntutan ini dilandasai keprihatinan atas konflik sosial dan lingkungan berkepanjangan yang dianggap mengancam warisan budaya dan penyiapan generasi masa depan di kawasan Danau Toba.
Dalam konferensi pers yang digelar di Sekretariat Batak Center, Jakarta Minggu (23/11/2025), lembaga ini menegaskan 'bola panas' konflik kini berada di tangan Pemerintah.
Jika PT TPL tetap abai terhadap temuan-temuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) serta catatan yang disampaikan, intervensi negara menjadi mutlak.
Ultimatum ini menyeruak di tengah krisis multidimensi yang melibatkan sengketa lahan, kerusakan ekologis, hingga dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Batak Center secara kritis menyoroti empat pilar utama yang dinilai menjadi sumber keretakan: ancaman ekologis dari monokultur eucalyptus, pengabaian Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang hutan adat, praktik kriminalisasi terhadap masyarakat lokal, dan peran negara yang dinilai permisif.
Ancaman Ekologis
Ketua Umum DPN BATAK CENTER, Ir Sintong M Tampulon, menempatkan isu ekologis sebagai dasar utama tuntutan. Sorotan tajam diarahkan pada jenis tanaman yang menjadi jantung bisnis PT TPL: eucalyptus.
“Tanaman eucalyptus diketahui lebih banyak mudaratnya daripada maslahatnya bagi karakteristik ekologis Tano Batak,” ujar Sintong.
Praktik monokultur eucalyptus di wilayah konsesi seluas ratusan ribu hektar disinyalir berdampak buruk pada kualitas air dan tanah, serta mengancam keanekaragaman hayati kawasan Danau Toba yang merupakan salah satu Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP).

Jajaran pengurus Dewan Pengurus Nasional (DPN) Batak Center saat menggelar konfremso pers di Jakarta Minggu (23/11/2025). (Waspada.id/ Andy Yanto Aritonang) (waspada)
Tuntutan Batak Center sangat spesifik: PT TPL harus melakukan “penggantian jenis tanaman secara berangsur dan pasti” dengan spesies yang lebih sesuai dengan ekologi lokal.
Ini bukan sekadar permintaan ganti rugi, melainkan upaya mendasar untuk memaksa perubahan model pengelolaan hutan yang berorientasi profit menjadi model yang adil dan berkelanjutan bagi ekosistem Danau Toba.
Abaikan Konstitusi
Konflik lahan telah menjadi titik didih sengketa selama bertahun-tahun. Batak Center mengingatkan bahwa landasan hukumnya telah jelas: Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kami mengingatkan kembali pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menegaskan bahwa hutan adat tidak lagi dikategorikan sebagai ‘hutan negara’, melainkan sebagai ‘hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat’,” tegas Sintong, dilansir dari indonesiavoice.com. Konsekuensinya, masyarakat adat adalah subjek hukum dan pemilik sah hutan adat.
Tuntutan agar PT TPL patuh pada Putusan MK adalah langkah krusial. Batak Center melihat kepatuhan hukum ini sebagai satu-satunya cara untuk memulihkan kepercayaan publik dan menegakkan keadilan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Apabila perusahaan tetap mengklaim lahan yang secara konstitusional diakui sebagai wilayah adat, hal itu sama saja dengan menentang supremasi hukum di Indonesia.
Jejak Kriminalisasi, Intimidasi & Peran Aparat yang Permisif
Sementara itu, Sekretaris Dewan Pembina Batak Center Prof Mompang Panggabean mengungkap aspek paling gelap dari konflik ini.
Ia membedah pola konflik di lapangan yang menunjukkan adanya campur tangan PT TPL dalam memicu konflik, baik secara horizontal (masyarakat melawan masyarakat) maupun vertikal (masyarakat melawan korporasi).
Prof Mompang mencontohkan kasus-kasus yang melibatkan warga yang mempertahankan lahan leluhur namun justru berakhir di balik jeruji besi atau pengadilan.
“Terutama kalau kita perhatikan kasus Sorbatua Siallagan, di mana kemudian dia dilaporkan karena dia mempertahankan lahan leluhur yang diklaim oleh PT TPL sebagai kawasan konsesi,” ungkap Prof Mompang.
Ia menyimpulkan praktik ini telah mengakibatkan adanya kesan bahwa “penggunaan kekerasan ini menjadi salah satu bentuk tekanan terhadap masyarakat.”
Namun, kritik terberat diarahkan kepada institusi negara itu sendiri. Prof Mompang menyiratkan kegagalan negara dalam melindungi warganya.

Ketua Umum Batak Center Sintong M Tampubolon didampingi jajaran pengurusan memberikan keterangan pers terkait upaya organisasinya memperjuangkan ulos menjadi warisan tak benda UNESCO/tangkapan layar NTV
“Secara tidak langsung kita melihat bahwa pemerintah demikian juga aparat penegak hukum yang permisif terhadap persoalan-persoalan itu, itu dipandang seakan-akan justru mem-backup PT TPL,” tegasnya.
Tudingan “mem-backup PT TPL” menunjukkan adanya dugaan ketidakseimbangan kekuasaan dan potensi penyalahgunaan wewenang, di mana izin konsesi yang diberikan oleh pemerintah seakan-akan menjadi tameng untuk mengklaim lahan leluhur masyarakat dengan mudah, bahkan memicu proses kriminalisasi, yang berujung pada kasus pidana dan hukum administrasi.
Penolakan Keras Kompromi
Batak Center juga secara tegas menggarisbawahi rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang meminta PT TPL mengambil langkah konkret untuk mencari solusi permanen yang adil.
Bagi Batak Center, rekomendasi ini harus menjadi “pondasi yang kokoh dalam memperbaiki rusaknya hubungan antara perusahaan, masyarakat, dan negara.”
Mengenai nasib karyawan jika izin dicabut, Drs Jerry R Sirait, Sekjen Batak Center, menekankan bahwa penutupan adalah “pilihan terakhir,” tetapi jika itu diambil, tanggung jawabnya tidak boleh dilimpahkan ke masyarakat.
“Penutupan TPL ini pilihan terakhir… Kalau itu pilihan terakhir diambil bagaimana nasib para karyawan. Maka itu menjadi tanggung jawab pemerintah dan TPL. Tidak hanya TPL bertanggung jawab soal itu,” tegas Jerry.
Ia beralasan, PT TPL telah membayar pajak kepada negara, sehingga negara juga bertanggung jawab terhadap nasib karyawan. Pernyataan ini secara kritis menuntut negara untuk tidak hanya berfokus pada pendapatan dari korporasi, tetapi juga pada kesejahteraan warga negaranya.
Jerry R Sirait juga memberikan penolakan keras terhadap wacana kompromi yang melibatkan pembagian tanah rakyat.
“TPL tidak memiliki tanah kok. Kalau Tanah rakyat diminta berbagi-bagi, Saya tidak mau. Tanah kami itu dulu salah satu yang dipersoalkan itu, Tanah Marga Sirait,” ujarnya, menutup pintu bagi penyelesaian yang mengorbankan kedaulatan tanah adat.
Menuju Transisi Ekonomi Berkeadilan
Sebagai jalan keluar yang konstruktif, Batak Center mendorong dilakukannya kajian mendalam untuk membangun model ekonomi masa depan kawasan Danau Toba.
Solusi ini mencakup pengembangan pariwisata berkelanjutan, ekowisata, dan industri kreatif berbasis budaya lokal. Model ini didasarkan pada prinsip filosofis Economic Analysis of Law: “hukum untuk manusia, dan bukan manusia untuk hukum,” yang menekankan bahwa semua aturan harus berpihak pada kemanusiaan dan keadilan.
Ultimatum Batak Center ini adalah eskalasi konflik serius yang menempatkan nasib operasional PT TPL sepenuhnya di tangan Pemerintah.
Ini bukan hanya tentang izin, tetapi tentang penegakan keadilan, perlindungan HAM, dan kelestarian lingkungan di Tano Batak. Keputusan Pemerintah atas desakan ini akan menjadi barometer komitmen negara terhadap hak-hak masyarakat adat melawan kepentingan korporasi raksasa.
Berikut adalah 10 poin sikap Batak Center yang dibacakan oleh Wakil Sekjen Batak Center, Jaya Tahoma Sirait, SH, MM:
1. Kami meminta Pemerintah untuk penghentian seluruh bentuk eskalasi kekerasan, yang merupakan victimisasi dan kriminalisai baik terhadap masyarakat, pekerja, maupun aparat kepolisian dan TNI. Keselamatan manusia harus menjadi prioritas utama (salus populi suprema lex esto), dan setiap perbedaan pandangan harus diselesaikan melalui mekanisme dialog dan hukum yang berlaku secara responsif, agar tidak menggunakan pendekatan represif semata.
2. Kami mendesak PT TPL agar melakukan proses verifikasi transparan, akuntabel dan independen terhadap status kawasan yang disengketakan. Apabila hasil verifikasi menunjukkan bukti adanya area yang merupakan hutan lindung atau wilayah masyarakat adat yang harus dihormati, maka kami meminta agar kawasan tersebut dikembalikan kepada negara dan/atau masyarakat adat berdasarkan ketentuan hukum dan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat secara sukarela dan bermartabat.
3. Kami menyerukan diberlakukannya moratorium atas seluruh kegiatan baru eksploitasi/eksplorasi lingkungan di wilayah Tano Batak yang sedang atau berpotensi menimbulkan konflik demi mencegah atau menghindari kerusakan lebih lanjut serta menjaga situasi agar tetap kondusif.
4. Bahwa tamanan eucalyptus diketahui lebih banyak mudratnya dari pada maslahannya oleh karena ini BATAK CENTER meminta secara berangsur dan pasti mengganti jenis tanaman dengan spesies yang lebih sesuai dengan karakteristik ekologis Tano Batak, sehingga lebih ramah lingkungan untuk memastikan kelestarian dan keberlanjutan kawasan, memulihkan keseimbangan ekosistem, dan menghadirkan model pengelolaan hutan yang adil dan berkelanjutan sebagaimana yang termaktub di dalam UUD Negara RI Tahun 1945, khususnya yang dicantumkan pada Pasal 33.
5. BATAK CENTER sangat berharap agar PT TPL menunjukkan sensitivitas dan kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat di sekitar wilayah operasionalnya, khususnya dalam pertautan dengan keberlanjutan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam melaksanakan setiap kegiatan, PT TPL harus berkomitmen menjaga kelestarian kawasan terdampak serta lingkungan Sumatera Utara secara keseluruhan.
6. Kami mendorong terbentuknya dialog multipihak yang jujur, terbuka, dan konstruktif, di mana pemerintah daerah maupun pusat tidak hanya bertindak sebagai regulator, tetapi berperan aktif sebagai fasilitator dan mediator yang memastikan setiap suara didengar dan setiap kepentingan ditimbang secara adil. Kami menekankan bahwa upaya rekonsiliasi harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam kesetaraan menurut demokrasi Pancasila, antara lain: perusahaan, masyarakat adat, pekerja, organisasi lingkungan, serta lembaga keagamaan dan keumatan, agar proses pemulihan sosial berjalan menyeluruh, berimbang, dan berlandaskan nilai- nilai kemanusiaan, keadilan dan kebenaran.
7. Kami menegaskan bahwa setiap pihak yang terlibat dalam sengketa wajib bersikap satria, transparan dan proaktif dilandasi tanggung jawab yang tinggi kepada Sang Khalik, bangsa dan negara serta Bangso Batak dalam menyelesaikan konflik lahan dengan masyarakat. Penyelesaian terbaik harus ditempuh melalui mekanisme yang adil, termasuk perwujudan restitusi (bertolak dari tanggung jawab pihak yang menimbulkan victimisasi dan kerugian) dan/atau kompensasi (berlandaskan prinsip welfare state bahwa negara turut memikul tanggung jawab atas tidak terpenuhinya hak-hak masyarakat). Pemikiran tersebut berkiblat pada pemulihan hak-hak masyarakat sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang secara antropo-filosofis telah mengubah pengertian hutan adat dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dimana putusan MK tersebut menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi “hutan negara” melainkan “hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” Konsekuensi logis di balik adalah keniscayaan bahwa masyarakat adat merupakan subjek hukum dan pemilik sah hutan adat. Kesadaran dan kepatuhan terhadap Putusan MK tersebut pada gilirannya akan memulihkan kepercayaan publik, agar keadilan dan kebenaran benar-benar ditegakkan sesuai Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945.
8. Kami mendorong dilakukannya kajian mendalam mengenai model ekonomi masa depan bagi kawasan Danau Toba. Pengembangan pariwisata berkelanjutan, industri kreatif berbasis budaya lokal, ekowisata, serta program restorasi hutan perlu dipertimbangkan sebagai pilar ekonomi baru yang lebih ramah lingkungan, berkeadilan, dan mampu memberdayakan masyarakat secara berkelanjutan. Model Economic Analysis of Law yang diutarakan oleh Richard A. Posner sangat penting dengan progresivisme hukum ala Pancasila di bumi persada Nusantara yang menyatakan “hukum untuk manusia, dan bukan manusia untuk hukum.”
9. Kami menggarisbawahi rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang meminta PT TPL mengambil langkah konkret untuk mencegah konflik berkepanjangan serta mencari solusi permanen yang adil, proporsional, dan saling menghormati. Rekomendasi ini harus menjadi pondasi yang kokoh dalam memperbaiki rusaknya hubungan antara perusahaan, masyarakat, dan negara.
10. Bilamana PT TPL abai memenuhi temuan-temuan Kementerian LHK dan catatan BATAK CENTER maka “BATAK CENTER Mendesak Agar Pemerintah Membekukan Izin Usaha PT Toba Pulp Lestari, Tbk dan Mencabut Izin Operasionalnya Secara Bertahap.”




Sahabat
Ntvnews
Teknospace
HealthPedia
Jurnalmu
Kamutau
Okedeh